Minggu, 04 November 2012

Akulturasi Budaya sebagai jalan pembentukan hukum islam



 
      


Sejak zaman Rasulullah, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat. Sebagai contoh adalah kasus dari sahabat Muadz bin Jabal ketika hendak diutus Nabi ke Yaman. Begitu juga sahabat Umar yang tidak melaksanakan hukum potong tangan sebagai sanksi pencurian meskipun dalam Alquran sudah jelas ayatnya.
            "Umat Islam yang hidup di dunia, khusunya Indonesia, belum menemukan konsep baku tentang hukum Islam. Akan tetapi sebagian besar konsep hukum Islam sangat fleksibel, meski ada beberapa yang harus ketat. Konsep ulama' yang sangat masyhur, Taghayyur al-Hukm bi Taghayyur al-Amkinah wa al-Azminah wa al-Ahwal, menunjukkan bahwa perubahan hukum adalah sebuah keniscayaan, karena hukum selalu berputar, bergerak sesuai dengan tempat, zaman dan situasi atau kondisi di mana umat Islam berada. Karena itu Islam berkembang sesuai dengan tabiat lokal yang mengitarinya. Fitrah Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak bisa disamaratakan pada semua Negara."
            Demikian pernyataan Sudirman, salah seorang dosen Universitas Islam Negeri Malang, dalam diskusi yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Syariah UIN Malang, 06/05/’06 lalu. Diskusi dengan tema "Akulturasi Budaya: Jalan Pembentukan Hukum Islam", selain menghadirkan Sudirman dari Nahdlatul Ulama sebagai pembicara juga menghadirkan Ahmad Chodjim dari Jaringan Islam Liberal, Jakarta.
            Lebih lanjut Sudirman menyatakan bahwa hukum Islam tidak selalu menawarkan satu konsep baku yang kaku. “Hukum Islam selalu bergerak mengikuti dari perkembangan zaman”, jelasnya. “Oleh karenanya Islam tidak menafikan bahwa ijtihad sebagai sebuah solusi yang ditawarkan dalam pembentukan hukum Islam.” “Hingga kini pintu Ijtihad selalu terbuka bagi umat Islam dalam menggapai misinya sebagai agama rahmatan lil alamin dan masih relevan untuk dilakukan pada zaman sekarang”, ucap dosen UIN Malang ini tegas.
            Sejak zaman Rasulullah, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat. Sebagai contoh adalah kasus dari sahabat Muadz bin Jabal ketika hendak diutus Nabi ke Yaman. Begitu juga sahabat Umar yang tidak melaksanakan hukum potong tangan sebagai sanksi pencurian meskipun dalam Alquran sudah jelas ayatnya. Karena Umar mencoba memahami situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu itu.
            Diskusi yang bertempat di masjid Al-tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang itu kian menarik ketika sesi dialog dibuka, Adi dan Mangun dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mengemukanakan pendapatnya tentang konsep yang dirumuskan oleh ulama. Menurutnya, konsep tersebut bukanlah sebuah kesepakatan para ulama, melainkan hanyalah pendapat beberapa orang saja. Tapi kemudian dijadikan sebuah landasan oleh orang-orang liberal dalam memecah belah umat Islam. Menurut aktivis HTI ini, hukum Islam itu sudah tetap dan hanya bersandar pada Alquran dan hadits. Mereka menolak budaya sebagai salah satu unsur dalam pembentukan hukum Islam. Mereka juga menolak bahwa pintu ijtihad masih terbuka hingga sekarang. “Pada zaman sekarang tidak ada orang yang mampu untuk berijitihad”, tandasnya “Ijtihad itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang mumpuni pengetahuannya”.
Tetapi pendapat aktivis HTI tersebut buru-buru ditolak oleh Ahmad Chojim, wakil Jaringan Islam Liberal. Menurut Chojim, budaya adalah unsur dasar bagi manusia. Budaya memiliki tiga lapisan, yaitu: nilai-nilai dasar yang bisa dipertahankan, perilaku-perilaku yang terdiri dari ritual, simbol-simbol, dan artefak yang berisi ilmu pengetahuan yang bisa diserap. “Bangsa yang besar selalu menerima budaya, karena budaya adalah nilai dasar hidup”, tegasnya. “Semakin terbuka suatu komunitas, semakin mudah mereka mengalami akulturasi budaya.” “Namun dalam akulturasi budaya, nilai-nilai dasar (basic value) tetap harus dipertahankan. Biasanya sentuhan budaya luar hanya pada lapisan norma dan lapisan artefak saja.”
Begitu juga dengan penyatuan antara hukum Islam dengan budaya lokal setempat. Tujuannya adalah agar bisa mudah diterima dengan terbuka tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budayanya. Hal itu telah dilakukan oleh para walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Para wali itu berusaha menyampaikan ajaran agama dengan menggunakan budaya lokal. Sehingga Islam yang ada di Jawa mempunyai corak yang unik dan berbeda dengan Islam yang di Arab. Meski demikian, bukan berarti nilai-nilai dasar Islam itu telah hilang dari keislaman orang Jawa. Yang terjadi justru sebaliknya. Praktek-praktek ritual kerap kali dilakukan oleh masyarakat Jawa. Sebagai contoh peringatan pada tanggal 1 Muharram yang diperingati dengan berbagai cara. Akan tetapi hal itu tidaklah memengaruhi nilai-nilai subtantif dari ajaran Islam sendiri.
Sebuah peraturan Hukum Islam tidaklah terlepas dari nilai-nilai konsktektual peradaban. Hukum-hukum yang berbeda tidak harus dilarang. Karena ijtihad sendiri merupakan upaya berpikir keras terhadap kehidupan keagamaan kita. Menurut Chodjim ijtihad terdiri dari beberapa tahapan. Pertama, adalah jihad yang merupakan upaya fisik membangun hukum Islam. Kedua, ijtihad, yakni memilih suatu jalan dengan benar dalam membentuk hukum Islam tersebut. Ketiga, mujahadah, yaitu upaya mendekatkan diri pada Tuhan secara personal dan secara social. Pendapat ini juga diamini oleh Sudirman. Menurut alumni pasca sarjana UIN Jakarta ini perbedaan pendapat dalam menentukan sebuah hukum menjadi sah dalam agama. “Karena hanya dengan berpikir yang mencerahkan dan menghilangkan belenggu otak dari kebekuan-kebekuan tersebut, sebuah jalan untuk mengaktualisasikan hukum Islam dimuka bumi ini menjadi mungkin” tandasnya. Wallahu a'lam bi as-Shawab.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar